jejakkasus.co.id, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyoroti rendahnya Belanja Perlindungan Sosial atau Bantuan Sosial (Bansos) yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) hanya sebesar Rp 11 Triliun per tahun.
Kondisi tersebut, sangat jauh berbeda dibandingkan dengan Belanja Perlinsos Pemerintah Pusat yang dalam tiga tahun terakhir selalu di atas Rp 400 Triliun setiap tahunnya. Dan bahkan hampir mendekati Rp 500 Triliun pada tahun 2020, karena adanya pandemi Covid-19.
“Ini menggambarkan, konsep mengenai transfer ke daerah dengan tujuan melindungi rakyatnya, tetapi ternyata mungkin anggaran sebagian daerah untuk yang betul-betul berjudul perlindungan masyarakat masih didominasi oleh pusat,” kata Sri Mulyani dikutip Antara, Selasa (7/06/2022).
Pada tahun 2019, Belanja Perlinsos Pemerintah Pusat mencapai Rp 308,4 Triliun. Kemudian, pada tahun 2020 mencapai Rp 498 Triliun. Tahun 2021 sebesar Rp 469,4 Triliun, Tahun 2022 dialokasikan sebesar Rp 431,5 Triliun, dan bahkan pada 2023 diasumsikan senilai Rp 432,2 Triliun sampai Rp 441,3 Triliun.
Tak hanya Belanja Perlinsos, lanjut dia, Belanja Kesehatan juga masih didominasi Pemerintah Pusat, terutama saat pandemi terjadi, khususnya Belanja Vaksinasi, Pembiayaan Perawatan, dan Insentif Dokter.
Sementara, untuk belanja pendidikan yang juga menjadi salah satu belanja prioritas, Pemerintah Pusat pun terkadang masih mengatur untuk Gaji Guru dan sebagainya.
“Belanja memang tujuannya untuk membangun ekonomi dan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik kualitasnya, baik Pendidikan, Kesehatan, Jaminan Sosial. Dan dari sisi Infrastruktur termasuk iInfrastruktur dasar, seperti Air Bersih, Irigasi, Jalan Raya dan bahkan Telekomunikasi,” ungkap Sri Mulyani.
Sri Mulyani menilai, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah berhasil menjadi Peredam Kejut alias shock absorber yang luar biasa saat Covid-19 melanda. Sehingga, diharapkan APBD juga bisa mencontoh.
Hal tersebut, karena masyarakat di Indonesia sepatutnya dilindungi oleh Pemerintah Daerah, bukan hanya Pemerintah Pusat.
“Ini hanya untuk menggambarkan, bahwa APBN yang bekerja di pusat sebetulnya pada akhirnya yang menikmati adalah daerah dan rakyat juga,” pungkasnya. (Ratu 001/Red)