jejakkasus.co.id, PONTIANAK – Pengalihan masalah, sengaja diciptakan. Izin konfirmasi dijawab arogansi. Media pengacau dijadikan isu central. Protes warga terdengar nyaring diluar sana. Lahan masyarakat diganti Tauke murah meriah.
Pihak keamanan belum melangkah masih jalan ditempat.
Koordinator liputan koran korupsi Kalbar mengatakan, awalnya kita meminta materi LPJ sekaligus konfirmasi berita lewat surat permohonan.
Tetapi yang terjadi justru surat resmi tadi dirobek-robek oleh Sakimin sambil mengucapkan kalimat kasar bernada ancaman.
”Mana KTP, KTA dan surat tugas kamu. Tidak usah foto-foto, cepat hapus, kalau tidak ke hempaskan HP mu. Jangan macam-macam disini, nanti ku hukum adat dan kutembak kau. Ayo pergi sana,” ujar Budi Gautama seraya mencontohkan omongan Bendahara Desa Kampar Sebomban Kecamatan Simpang Dua Kabupaten Ketapang.
Kendati sempat kaget bercampur bingung, namun Budi faham betul kalau sikap arogansi Sakimin itu sengaja dibikin sebagai trik pengalihan masalah.
”Saya ngerti kok, ini semua untuk pengalihan situasi sehingga persoalan utama tidak muncul kepermukaan membentuk sebuah polemik,” terangnya kepada jejakkasus.co.id.
Merasa profesi jurnalis direndahkan, Budi yang sudah puas makan Asam Garam dan Indomie didunia tulis menulis, langsung melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Ketapang.
”Saya sangat berharap perlakuan pelecehan terhadap tugas jurnalis ini diproses secara hukum,” pintanya tegas.
Namun setelah ditunggu berhari-hari, terbukti tindakan Polisi jalan ditempat . Akhirnya mantan Ketua Aliansi Wartwan Indonesia (AWI) Kalimantan Barat, 2 periode mengadukan peristiwa yang menimpa dirinya ke Polda Kalimantan Barat.
”Karena ini wujudnya pidana dan pelanggaran UU Pers NO. 40 Tahun 1999, mudah-mudahan Polda Kalbar sebagai mitra wartawan bisa mengambil langkah-langkah hukum secara cepat,” harapnya.
Praktisi Hukum juga mengecam sikap arogansi yang diperbuat oleh Bendahara Desa Kampar Sebomban terhadap salah satu wartawan.
”Perbuatan Sakimin itu sangat tidak menyenangkan, bahkan membahayakan nyawa orang lain. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran pidana dan UU Pers. Apapun bentuknya dia harus diproses,” tekan Yayat Darmawi, S.E., S.H., M.H., diruang kerjanya.
Arsyat, Koordinator Media Jakarta malah curiga berat terkait aset yang dimiliki Perangkat Desa Kampar Sebomban Kecamatan Simpang Dua mengingat wilayah tersebut dipenuhi perusahaan kayu, sawit maupun Tambang.
”Jujur, saya curiga. Bisa saja karena takut jobnya diketahui oleh wartawan, yang selama ini tertutup, jadi mereka sengaja over akting mengeruhkan suasana alias pengalihan ke hal-hal diluar nalar sebagai orang pintar didesa tersebut. Tetapi Polisi tidak bodoh lo,” ucapnya.
Diluar sana, kaitan dengan diatas, masyarakat Simpang Dua menolak masuknya perusahaan HTI.
Pasalnya, Perusahaan kayu dibawah bendera PT. Mayawana Persada diduga membabat Hutan Ulayat (Hutan Adat) yang selama ini dipelihara dan dijaga kelestariannya.
”Kehadiran PT Mayawana Persada tidak menghargai hak-hak adat peninggalan leluhur. Dilapangan, mereka justru merusak Hutan dan menimbulkan keresahan dimasyarakat. Semua dianggap milik Negara dengan dalih UU memberi tali asih Rp 300 ribu per hektar yang dibayar melalui Kepala Desa secara global,” papar Martinus Dadho Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Simpang Dua Kabupaten Ketapang, Kamis (09/09/2921).
Martinus mengatakan, masuknya Perusahaan HTI ke Simpang Dua bermuara dari Desa Kampar Sebomban lewat Dusun Mentawak Biring. Mereka tidak pernah koordinasi maupun konsultasi. DAD tidak dianggap sama sekali. (AnFi)