BANDUNG- JK. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melihat masih rendahnya minat orang menjadi saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collabolator/JC). Padahal dengan menjadi JC, pelaku akan mendapatkan perlakuan khusus dan penghargaan (reward) berupa tuntutan ringan.
Hal ini mendorong LPSK melakukan Diskusi dengan ahli bertema “Optimalisasi Peran Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam Proses Peradilan Pidana” yang mengundang beberapa narasumber.
“Melalui gelar perkara ini diharapkan ada masukan dari para narasumber untuk mengetahui kenapa JC tidak begitu diminati oleh pelaku, termasuk pada Tindak Pidana Korupsi. Atau langkah apa yang harus dilakukan agar banyak pelaku minor untuk mau menjadi JC”, ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu saat membuka gelar perkara tersebut di Bandung. Rabu (9/12/2020).
Advokat Maqdir Ismail mengungkapkan, sebenarnya banyak tersangka yang mau menjadi JC. Namun ada kekhawatiran pada mereka jika benar-benar mengungkap semua fakta perkara justru akan menjadi masalah bagi mereka sendiri. Apalagi berbicara perkara korupsi dimana banyak pelakunya dari kalangan pejabat maupun politisi, sehingga banyak dari mereka berfikir untung-ruginya dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
“Di Belanda, orang yang menjadi JC dibawa oleh Jaksa ke Hakim dan dibuat perjanjian untuk mengungkap perkara, di Indonesia belum ada”, ujar Maqdir.
Maqdir berpendapat, seharusnya ada aturan yang mengatur agar LPSK memiliki wewenang untuk melakukan tindakan tertentu, misalnya wawancara kepada tersangka sesaat setelah ditetapkan statusnya sebagai tersangka, apakah yang bersangkutan mau menjadi JC atau tidak.
Serta perlunya LPSK diberikan wewenang untuk menetapkan apakah bisa yang bersangkutan masuk kategori JC atau tidak. Dengan tidak adanya aturan yang jelas, negosiasi dari penegak hukum dengan tersangka terkait kasus JC lebih kepada tawar menawar non formal yang kadang justru ada bentuk ancaman di dalamnya.
“LPSK perlu dilibatkan dan dioptimalkan perannya, LPSK misalnya bisa memberikan rekomendasi JC jadi tidak hanya bergantung kepada penuntut umum”, jelas Maqdir.
Maqdir juga berpendapat, hukuman untuk orang yang menjadi JC harusnya dijadikan hukuman yang berkekuatan hukum tetap, karena dalam proses banding bisa saja hukuman justru diperberat. Hal ini menyebabkan peran JC membuka fakta perkara menjadi sia-sia.
Sementara Politisi Akbar Faisal sependapat bahwa, aturan terkait JC harus diperjelas, LPSK dianggap seakan tidak ada. Contohnya adalah sulitnya LPSK mendapatkan akses untuk menemui orang yang berpeluang menjadi JC. Padahal LPSK Lembaga Negara, harusnya bisa mengakses itu termasuk tata cara pengajuan menjadi JC. Siapa yang bisa masuk kategori JC juga harus diperkuat, karena ada beberapa pelaku utama korupsi justru menjadi JC.
“Ini semua harus diperjelas melalui aturan terkait JC, termasuk soal wewenang LPSK”, ujar Akbar.
Terkait jarangnya Politisi mengajukan diri menjadi JC ketika menjadi tersangka korupsi karena ada kalkulator Politik lebih besar, mana untungnya mengungkap atau tidak mengungkap tindak pidana. Akibatnya orang akan lebih berfikir resiko, ketimbang mengungkap kasus.
“Perlu diambil langkah agar mekanisme JC bisa dilaksanakan lebih baik, termasuk soal hak maupun reward untuk JC.”, ujar Akbar.
Prof. Romli Atmasasmita pakar hukum Unpad secara rinci menjelaskan aturan terkait JC, sebaiknya dimasukan ke dalam RUU KUHAP yang sedang dibahas. Dengan masuknya mekanisme JC ke KUHAP diharapkan penerapan peran JC dalam pengungkapan perkara bisa dioptimalkan.
“Karena JC itu terkait Organized Crime bukan kejahatan biasa dimana mengungkap atau membongkar perkaranya sulit, sehingga harus ada upaya spesial untuk membongkarnya. Dalam hal ini melalui peran JC”, jelas Romli.
Selain dimasukan ke dalam RUU KUHAP, Romli juga mengusulkan agar mekanisme JC masuk juga ke dalam RUU Pemasyarakatan dan RUU Perlindungan Saksi dan Korban jika nantinya akan direvisi. “Hal ini penting agar terjadi harmonisasi dalam aturan-aturan yang terkait JC”, ujar Romli.
Sementara penggiat anti korupsi dari ICW, Tama Satya Langkun menjelaskan banyak terjadi ketidakpahaman aparat terkait apa itu JC. Padahal sebenarnya banyak perkara yang bisa diungkap dengan keberadaan JC. “Tentunya ketidakpahaman aparat penegak hukum terhadap JC merugikan baik untuk mereka yang potensial menjadi JC maupun untuk aparat sendiri”, ujar Tama.
Tama juga mendorong LPSK untuk melakukan uji tafsir soal JC ke Mahkamah Konstitusi (MK), seperti mekanisme yang pernah ICW ambil saat melakukan uji tafsir masa jabatan pimpinan KPK Busyro Muqoddas. Uji tafsir ini untuk memperkuat ketentuan JC dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. “Supaya tidak ada lagi penafsiran yang berbeda terkait JC dengan aparat penegak hukum”, jelas Tama.
Dengan masukan-masukan diatas, diharapkan ke depannya akan ada langkah yang bisa diambil baik oleh LPSK maupun pihak lain agar ada perbaikan aturan sehingga peran JC dalam membantu pengungkapan perkara akan semakin optimal. Diantaranya adalah Perpres Perlindungan terhadap Saksi Pelaku/JC yang saat ini sedang disusun oleh Menkumham.
LPSK juga melihat perlu adanya revisi SEMA 4/2011 tentang Perlakuan Untuk Whistleblower dan Justice Collaborator. “Hal ini perlu untuk lebih menjamin terpenuhinya hak-hak JC”, pungkas Edwin. (Humas/FR)