Jawa Barat : Janda di Indramayu Mencapai 2500 Pada Bulan Juni 2020

INDRAMAYU- JK. Mengejutkan, dimasa pandemi Covid-19 ini, di Kabupaten Indramayu angka perceraian meningkat tajam, terbukti awal Juni 2020, sudah ada 2500 kasus perceraian ditangani Pengadilan Agama.

“Dari awal Januari sampai awal Juni 2020, Pengadilan Agama Indramayu telah menangani 2500 permohonan perceraian,” ujar Kepala Sub Bagian Umum Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu, Ahmad Hidayat kepada wartawan, senen (15/6/2020).

Pihaknya memaparkan, angka perceraian di Kabupaten Indramayu dalam 3 (tiga) tahun terakhir semakin bertambah, dimulai sejak 2017 kasus perceraian di Indramayu menduduki peringkat pertama se wilayah Provinsi Jawa Barat.

“Tahun 2017 Kabupaten Indramayu menduduki posisi kasus perceraian tertinggi se Provinsi Jawa Barat dan angkanya selalu bertambah setiap tahunnya sampai 2019,” ujar Ahmad Hidayat.

Banyaknya kasus perceraian tersebut, menurut Pengadilan Agama Indramayu sebagian besar faktor utamanya adalah akibat ekonomi, menikah muda, dan perselingkuhan.

“Pada tahun 2019 kasus perceraian di kabupaten Indramayu di angka 9.375, ini lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya,” jelas Ahmad.

Menurut Ahmad, salah satu tingginya kasus perceraian adalah dari program Kementerian Agama yaitu bimbingan perkawinan pra nikah yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di wilayah Kabupaten Indramayu, dinilai kurang berhasil dalam menekan angka perceraian.

Menurut O’ushj Pengamat Sosial dan sebagai Direktur PKSPD (Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah)

“Yang sesungguhnya terjadi tidak semata-mata karena gagalnya bimbingan penyuluhan yang diberikan KUA karena data perceraian faktor utamanya adalah ekonomi.

Faktor nikah muda memang punya pengaruh tetapi sekarang paling muda nikah berdasarkan Undang-Undang minimal 18 tahun. Jadi tidak terlampau muda juga, tidak seperti dulu.

“Faktor perselingkungan indikator kuatnya adalah faktor ekonomi dalam pandangan materialistik konsumeristik. Jadi tidak berdiri sendiri. Faktor nikah muda menurut hemat saya tidak cukup untuk faktor terjadinya perselingkuhan.

Indikator perselingkuhan biasanya berangkat dari faktor ekonomi dan atau ketidakharmonisan hubungan seksual dalam rumah tangga,” tegas O’ushj pada awak media, Senin (15/6/2020).

Lanjut O Tahun 2000 an saya pernah minta data perceraian di Pengadilan Agama yang waktu itu Indramayu pemecah rekor tertinggi kasus perceraian di Indonesia.

Ada satu hal data perceraian yang tak bisa untuk dilakukan analisis sosiologi, yaitu kolom datanya tidak memuat data tingkat pendidikan, sehingga kita kesulitan untuk melakukan analisis sosiologis atas pertanyaan apakah faktor pendidikan mempunyai pengaruh terhadap kawin cerai di Indramayu.

Waktu itu saya sampaikam sama Ketua Pengadilan Agama untuk bisa memasukan data tingkat pendidikan bagi suami istri yang bercerai. Untuk itu apakah data tingkat pendidikan sudah termuat atau tidak, saya belum lagi ke Pengadilan Agama. Data yang ada hanya faktor ekonomi dan usia.

Mayoritas kasus perceraian karena soal ekonomi, selebihnya alasan perceraian adalah beristri lagi, KDRT, judi/mabuk-mabukan dan suami tidak bertanggungjawab dalam rumah tangga. TKI dan atau TKW keberadaannya menempati faktor kasus perceraian yang signifikan juga.

Faktor ekonomi terbagi dua yaitu ekonomi lemah juga menjadi penyebab perceraian dan perceraian karena perselingkuhan, dan ekonomi mampu atau mapan juga menjadikan sebab akibat terjadinya perselingkuhan, umumnya yang menyeleweng adalah pihak laki-laki yang berakibat juga terjadinya perceraian. Pungkasnya. (Ron)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *