Eksistensi 4 Persyaratan Yuridis Masyarakat Hukum Adat
Oleh : H.Albar S Sibari, SH., SU. (Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan/Peneliti Hukum Adat Indonesia) & MARSAL (Penghulu Kecamatan Muara Enim/Pemerhati Hukum Adat).
Rasanya tidaklah terlalu sulit untuk mengakui kenyataan bahwa sebelum ada entitas politik kerajaan dan Republik di dunia ini, sudah lama ada masyarakat Hukum Adat sebagai komunitas antropologi yang bersifat askriptif dan alami, yang warganya terdiri dari mereka yang merasa mempunyai pertalian darah, dan berdasarkan alasan sejarah mereka berhak untuk mengklaim suatu bidang permukaan bumi sebagai kampung halaman.
Lahirnya faham nasionalisme serta demokrasi dalam abad ke-18 di Amerika Utara dan di Eropa Barat telah memutar balikkan argumentasi imperialistik dan kolonialistik yang bersifat sepihak dari kehidupan bernegara, dan memberikan roh kemanusiaan serta jiwa kerakyatan.
Bertolak belakang dengan argumentasi filsafat, ideologi, hukum dan politik yang bersifat top down sebelumnya, nasionalisme, dan demokrasi mengajukan argumentasi moral yang bersifat bottom top, bahwa manusia dilahirkan sama dan sederajat, bahwa mereka dianugerahi oleh penciptaNYA dengan seperangkat hak yang tidak dicabut oleh siapa pun juga, dan oleh karena itu bahwa Pemerintahan terhadap mereka harus berdasarkan persetujuan sukarela mereka, government by cosent of the governed.
Memang sejak itu batu ujian yang paling nyata dari faham nasionalisme dan komitmen demokrasi dari para negarawan modern harus diukur dari sikap, perilaku dan perbuatannya terhadap kemanusiaan dan terhadap rakyatnya dan bukan pada retorika.
Dapatlah dipahami bahwa argumentasi moral yang lahir dari dua abad yang lalu itu betrsonasi dengan cepat, dengan jeritan hati nurani kemanusiaan dari seluruh bangsa-bangsa lain di seluruh dunia dan ilmu mengilhami pergerakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia terhadap gelombang demi gelombang penjajahan diseluruh kepulauan nusantara ini.
Undang-Undang Dasar 1945 dirancang, dibahas, dan disepakati oleh negarawan Indonesia generasi pertama dengan semangat yang sarat dengan kesadaran sejarah dan moral kemanusiaan. Mengenai eksistensi dan hak masyarakat hukum Adat yang menjadi wacana pemikiran kita sekarang ini menjadi kenyataan.
Dalam teritorial negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volkgemeenschappen, seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-Daerah itu mempunyai susunan asli (susunan asli perlu dipahami kembali tambahan penulis), dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai Daerah yang bersifat istimewa.
Negara Indonesia menghormati kedudukan Daerah-Daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai Daerah-Daerah itu akan mengingat hak asal usulnya Daerah itu.
Setelah reformasi secara konstitusi pengakuan eksistensi masyarakat hukum Adat itu secara tegas telah diatur dalam pasal 18 B ayat 2 Undangan-Undang Dasar 1945, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum Adat beserta hak-hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.
Merujuk pula pasal 28 I ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 71 dan 72 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, seluruh cabang Pemerintahan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif harus mengambil langkah yang diperlukan untuk terlindungnya eksistensi dan hak masyarakat hukum adat.
Sesuai dengan Pasal 14 ayat 1 huruf k dan Pasal 200 ayat 2 Undang-Undang 32 tahun 2004, Tentang Pemerintah Daerah, para pemuka masyarakat hukum Adat dapat memperjuangkan legalitas eksistensi masyarakat hukum Adat serta hak atas tanah ulayatnya dengan Peraturan Daerah.
Untuk mencegah berlanjutnya inkonsistensi dan inkoherensi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan serta memfasilitasi harmonisasi hukum, selain meningkatkan kemampuan profesionalnya para legal drafters perlu mempunyai pemahaman yang dalam, komitmen yang tinggi serta paradigma fungsional Pancasila sebagai dasar negara.
Mencermati empat persyaratan yuridis masyarakat hukum Adat yang perlu diatur di dalam Peraturan Daerah sesuai ketentuan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amendemen) yakni, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya: a. sepanjang masih hidup : b. dan sesuai dengan perkembangan masyarakat : c dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia : d. yang diatur dalam undang-undang.
Maka makna ketentuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Makna anak kalimat ” sepanjang masih hidup” adalah bahwa bila kesatuan masyarakat hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya ternyata masih hidup (memiliki pemangku Adat, memiliki anggota komunitas Adat, dan memiliki kejelasan teritori pemberlakuannya) dan nilai-nilai Adat dimaksud saat ini digunakan sebagai pengatur sikap dan perilaku masyarakatnya, maka kesatuan masyarakat hukum Adat tersebut harus dihormati dan diakui oleh Negara.
b. Makna anak kalimat ” sesuai dengan perkembangan masyarakat ” adalah bahwa bila sistem nilai Adat yang berlaku di dalam komunitas Adat tersebut ternyata masih dihormati dan diakui oleh segenap komunitas adatnya (secara internal, serta tidak bertentangan dengan nilai nilai sosial yang dianut oleh masyarakat luas (secara eksternal), maka nilai nilai Adat tersebut harus dijaga dan dilestarikan, serta wajib dihormati dan diakui oleh komunitas lainnya tatkala berada dalam kehidupan komunitas tersebut (dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
c. Makna anak kalimat ” sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,” adalah bahwa bila sistem nilai Adat pada masyarakat Adat tertentu ternyata dapat diterima dan dihormati oleh masyarakat Indonesia umumnya, serta tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (sistem nilai Adatnya tidak memecah belah persatuan dan kesatuan nasional), maka sistem nilai Adat Istiadat tersebut wajib dihormati dan dijaga kelestariannya).
d. Makna anak kalimat ” yang diatur dalam undang-undang ” adalah bahwa bila pengaturan mengenai kesatuan masyarakat hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya diatur dalam hukum positif Indonesia (diatur dalam undang-undang), maka keberadaan “satuan masyarakat hukum Adat” tersebut perlu diatur lebih lanjut di dalam peraturan perundang-undangan di Daerahnya.
Contoh pengaturan mengenai keberadaan masyarakat hukum Adat yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya di dalam Pasal 2 ayat (9) (ketentuan umum) dan Pasal 216 (mengenai Desa)
Demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan kesatuan masyarakat hukum Adat yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, adalah:
a. Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan dan Pelestarian Adat Istiadat (sebagai bentuk pengakuan, penghormatan, dan upaya pelestarian nilai-nilai Adat Istiadat pada suatu Daerah, sesuai amanat Pasal 18 UUD 1945 dan ketentuan Pasal 2 ayat (9) UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah) serta Undang-Undang Desa.
b. Peraturan Daerah tentang Desa atau sebutan lain, yang mengatur tentang pendayagunaan nilai-nilai adat dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan Desa, sesuai amanat Pasal 18 B UUD 1945 dan Pasal 216 UU No 32 tentang Pemerintahan Daerah.