Sumbar: Asal Mula Menara Masjid Agung Nurul Islam Kota Sawahlunto

jejakkasus.co.id, SAWAHLUNTO – Bangunan Cerobong Asap di zaman Hindia Belanda sebagai sentral listrik terbesar, namun saat ini telah menjadi Masjid Agung Nurul Islam.

Masjid Agung Nurul Islam Kota Sawahlunto lokasinya berjarak sekitar 150 meter dari Museum Kereta Api Sawahlunto, adalah salah satu Masjid tertua di Indonesia yang terletak di Kelurahan Kubang Sirakuak Utara, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.

Pada zamannya, hal itu untuk mendukung operasional berbagai perusahaan negara maupun swasta di Hindia Belanda, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan instalasi-instalasi pembangkit listrik untuk keperluan aktivitas Pabrik maupun Pertambangan di seluruh koloni, termasuk pada Perusahaan Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto.

Sentral listrik untuk Pertambangan Batubara Ombilin ini telah beroperasi sejak tahun 1902 dengan menggunakan peralatan instalasi yang dipesan pada Perusahaan Maintz & Co. dengan total anggaran awal sebesar NLG 40.000. Pembangkit listrik Kubang Sirakuk Sawah Loento ini adalah pembangkit terbesar di seluruh Hindia Belanda.

Awalnya, PLTU ini dilengkapi dengan fasilitas mesin berkapasitas 1000 Hp, kemudian diperluas menjadi 1500 Hp dan ditingkatkan lagi hingga 3000 Hp.

Namun seiring dengan produksi yang semakin meningkat, kapasitasnya ditingkatkan dengan menambah mesin baru. Tiga mesin pertama adalah mesin Piston majemuk, sedangkan yang terakhir adalah generator Turbo.

Arus yang dihasilkan oleh mesin ini memiliki tegangan sebesar 6000 Volt dan terdiri dari arus tiga fasa 50 periode. Sebagian disalurkan melalui Kabel bawah tanah dengan Pipa Tembaga Superterranean yang membawa daya ke stasiun transformator.

Di stasiun-stasiun ini arus tersebut kemudian diubah dari tegangan tinggi 6000 Volt diubah menjadi tegangan yang lebih rendah 220 Volt.

Semua mesin serta penerangan disuplai dengan arus tegangan ini. Beberapa Ketel Uap dipasang sebagai pemasok daya untuk mesin.

Untuk mengeluarkan gas buang dari Boiler ini, dibangun dua Cerobong Asap, satu dari Besi setinggi 40 meter dan satu dari Beton bertulang, yang tingginya hampir 70 meter dari dasar ke puncak.

Cerobong yang dibangun oleh perusahaan N.V. Beton Maatschappij tahun 191 terletak disebelah Selatan bangunan utama gedung pembangkit dengan diameter dalam 2,50 M.

Cerobong ini adalah bangunan satu-satunya di Hindia Belanda yang terbuat dari Beton bertulang dimana di Negeri Belanda sendiri tidak ada yang lebih besar dari bahan ini yang dibangun.

Cerobong Asap Sawah Loento adalah yang terbesar dari jenisnya di Kekaisaran Belanda.

Sebelumnya, transportasi Batubara di Sawah Loento menggunakan Gerbong yang ditarik sepanjang Rel Decauville menggunakan tenaga Carabao, Kuda, Sapi, dan Bagal.

Moda transportasi memiliki banyak kekurangan dan kesulitan dimana binatang-binatang itu sering sakit terutama jenis influenza yang menyebabkan stagnasi.

Kemudian pengawasannya pun membutuhkan perawatan dan latihan. Selain itu, makanan Hewan Tambang tersebut juga sulit didapatkan serta mahal, karena Rumput langka dan sering harus dipasok dari Solok seperti juga pasokan bahan makanan lainnya.

Oleh karena itu, keberadaan pembangkit ini sangat vital, antara lain untuk pengoperasian penggunaan moda traksi listrik yang akan membuat perubahan dan peningkatan besar, karena terbebas dari penyakit hewan, sehingga kondisi stagnasi dapat ditekan seminimal mungkin.

Setelah seluruh kebutuhan listrik untuk moda transportasi terpenuhi, akhirnya sejak September 1905, instalasi listrik ini sudah beroperasi penuh memasok tenaga penggerak listrik untuk seluruh operasi penambangan dan kebutuhan lainnya.

Pada tahun 1918, pembangkit ini telah menyuplai daya hingga sebesar 8.000.000 K.W.U. yang disalurkan pada beban maksimum 1300 K.W. Tahun 1920 kapasitas terpasang sebesar 3700 KW.

Instalasi yang paling banyak menghabiskan energi listrik pada Tambang Ombilin adalah instalasi Pompa Air untuk flushing guna mengisi ruang dekarbonisasi (kapasitas 600 K.W., konsumsi per tahun 4.000.000 K.W.Ü.).

Arus tiga fasa dibangkitkan dan ditransmisikan pada tegangan 6000 volt yang kemudian diubah menjadi 220 volt.

Sementara itu, untuk keperluan transportasi utama di dalam dan di luar Tambang, perusahaan menggunakan Gerbong Lokomotif listrik arus searah dengan daya 220 volt (Loko yang terbaru beratnya 4 ton dengan 2 mesin bertenaga 18 HP (3.a)

Pesatnya aktivitas penambangan yang diiringi dengan pembangunan fasilitas-fasilitas lain dan pertambahan jumlah penduduk dari daerah yang awalnya adalah kawasan pedesaan, telah berubah menjadi kawasan industri yang padat, serta mengingat debit Air Sungai yang berada dipinggir pembangkit tersebut kian berkurang, mengakibatkan Pembangkit listrik “Elektrische Centrale Sawahlunto” ini tidak lagi memadai kapasitas dayanya.

Sehingga pihak perusahaan membangun sebuah pembangkit listrik baru di daerah Salak pada tahun 1924 yang terletak ditepi bagian utara wilayah pertambangan.

Bangunan PLTU di Kubang Sirakuak yang sudah tidak berfungsi lagi sempat dijadikan sebagai tempat perlindungan dan perakitan senjata oleh para pejuang kemerdekaan di Sawahlunto selama revolusi Indonesia sebelum akhirnya berubah fungsi menjadi Masjid Agung Nurul Islam sejak tahun 1952.

Sementara, bangunan Cerobong Asap setinggi lebih dari 75 meter, kemudian dijadikan sebagai Menara Masjid dengan tambahan Kubah setinggi 10 meter. (Yanto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *