jejakkasus.co.id, PALI – Setidaknya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 (sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir Nomor 12 tahun 2021) tentang Pengadaan Barang dan Jasa telah secara tegas mengatur tentang persyaratan menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Syarat yang dimaksud dalam peraturan ini, bahwa untuk ditetapkan sebagai PPK harus memenuhi persyaratan memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa”.
Aturan ini tidak serta merta dapat diterapkan mentah-mentah begitu saja, terdapat skenario dan pengecualian-pengecualian dalam pelaksanaannya.
Lalu, bagaimana dengan PPK yang tidak memenuhi syarat dan berlindung pada jabatan PA/KPA-nya, bagaimana status perikatan kontrak yang dilakukannya?
PA/KPA dan ke-PPK-an, bahasan panjang dalam memahami kewenangan atribusi, delegasi dan mandatori Pengguna Anggaran (PA), tentu tidak akan cukup hanya dalam artikel/ tulisan ini saja.
Namun demikian, Penulis sebisanya meramu temuan ini dalam narasi ekspositori.
Dari penelusuran Penulis, setidaknya ada konsiderasi aturan yang dapat menjadi dasar dan rujukan, UU.17/2003 dan UU.1/2004 tentang Keuangan Negara dan Perbendaharaan Negara, sehingga kemunculan PA/ KPA tidak hanya didapati pada Perpres tentang Pengadaan Barang/Jasa belaka tapi justru bersumber dari Konstitusi, termasuk dalam peraturan turunannya yang tidak ada menyebutkan PA/KPA wajib memiliki Sertifikat Ahli Pengadaan, karena memang tugas mereka bukan hanya sebatas Pengadaan.
Perlu diingat, bahwa PA adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang secara otomatis memiliki kewenangan penuh dalam menggunakan anggaran. Kewenangan ini disebut kewenangan atribusi yang (langsung) diberikan oleh Undang-Undang.
Sebagian kewenangan ini, kemudian dapat didelegasikan atau dilimpahkan kepada orang lain, dalam hal ini KPA. Sedangkan, PPK adalah orang yang memenuhi syarat untuk ditunjuk atau ditetapkan oleh PA/ KPA untuk menjalankan tugas, tanggungjawab dan fungsi ke-PPK-an.
Lebih lanjut bila ditelaah, (perubahan) Perpres 16/2018 Pasal 10 ayat (5) menyebutkan, dalam hal tidak ada personel yang dapat ditunjuk sebagai PPK, KPA dapat merangkap sebagai PPK.
Dari Uji Petik beberapa Surat Perjanjian Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang dilakukan wartawan pada beberapa paket pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), masih saja ditemukan penandatanganan SPK dilakukan oleh PPK yang juga menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Padahal terang disebutkan, bahwa KPA yang bertindak dan/atau merangkap sebagai PPK hanya dapat dikecualikan apabila tidak terdapat personel PPK pada Instansi tersebut. Atau dengan kata lain, KPA yang dapat merangkap atau bertindak sebagai PPK bersifat back up, cadangan atau serap saja.
Kepala DPUTR PALI Ristanto Wahyudi, ST., MT., dalam kesempatan membalas pesan WA wartawan, justru memberikan keterangan yang terkesan kontra produktif dan malah mengada-ada peraturan yang tidak ada.
Coba perhatikan kalimat yang Penulis kutip dari pesan WA tersebut.
“Berkaca dari kondisi PUTR PALI, yang jumlah personal dak sebanding dengan jumlah paket pekerjaan, maka diperbolehkan KPA yang merangkap PPK tidak besertifikat”.
Bandingkan dengan Gramatika Perpres, yakni dalam hal tidak ada personel yang dapat ditunjuk, bukan karena rasio beban kerja, seperti yang diterangkan Ristanto.
Ristanto pula memberikan link referensi untuk bahan pembanding. https://youtu.be/8Z19_ZRmgH0.
Lalu, bagaimana jika sudah terlanjur, apakah SPK yang ditandatangani bisa menjadi cacat hukum, sehingga berpotensi batal demi hukum?
Bisa saja iya, (kalau tidak percaya gugat saja ke Pengadilan Negeri).
Hal ini senada dengan penjelasan Samsul, S.Sos., Cert., SCM (ITC) Trainer Nasional Pengadaan Barang/Jasa-LKPP RI yang sempat dihubungi wartawan belum lama ini, dan mengatakan, bahwa karena ini adalah soal perikatan, maka pendekatannya tidak lagi pendekatan Hukum Administratif Negara (HAN), melainkan pendekatan Hukum Perdata.
Lebih lanjut, Samsul mengatakan, bahwa berkenaan dengan beberapa pertanyaan wartawan, silahkan baca artikel di blog pribadinya, salah satu yang dikutip wartawan ada di link:https://samsulramli.net/2012/02/12/silahkan-saja-ppk-tidak-bersertifikat/
Masih menurut Ramli, dalam wilayah keperdataan dikenal syarat sahnya perikatan/ kontrak. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, bahwa perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat kumulatif, yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (KUHPerd. 28, 1312 dst.)
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (KUHPerd. 1329 dst.)
3. Suatu pokok persoalan tertentu; (KUHPerd. 1332 dst.)
4. Suatu sebab yang tidak terlarang; (KUHPerd. 1335 dst.)
Link.terkait:https://samsulramli.net/2017/01/30/dampak-hukum-ppk-tidak-bersertifikat/
Dikaitkan dengan kasus PPK tidak bersertifikat dan/atau tidak memenuhi persyaratan Perpres tentang pengadaan serta berlindung pada jabatan KPA seperti yang ditemukan di DPUTR, apakah perjanjian batal atau perjanjian batal demi hukum?
Ramli dalam artikelnya menyebutkan, persyaratan memiliki Sertifikat ahli pengadaan adalah salah satu syarat kompetensi bagi seseorang yang ditunjuk sebagai PPK. Jika tidak memenuhi, maka dapat dikatakan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat formil kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Ini berarti pula perikatan yang terjadi tidak memenuhi syarat subyektif berkontrak. Antara membiasakan yang benar dan membenarkan yang biasa
Jika persoalan ini dapat ditindaklanjuti oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam hal ini Inspektorat untuk melakukan pembinaan atas kepatuhan peraturan perundang-undangan pada entitas Pemerintah Kabupaten PALI, khususnya di DPUTR, tentu kemudian dapat meminimalisir potensi pembatalan perjanjian berujung pada simpulan prematur, bahwa telah terjadinya potensi kerugian Negara, karena keuntungan yang tidak halal atas pembayaran yang diterima penyedia.
Semangat membiasakan yang benar dan bukan membenarkan yang biasa, hendaknya tidak sebatas slogan-slogan retorika saja,
Langkah akrobatik DPUTR PALI dengan tetap menunjuk PPK merangkap KPA walaupun masih terdapat personel lainnya yang memenuhi syarat, berpotensi gugatan perdata dan bisa saja berujung pidana.
Sementara, Inspektorat masih belum bergeming dan belum memperlihatkan tanda-tanda bereaksi meski informasi terkait ini sudah diterima langsung sang Inspektur. (*)
Penulis : Aprizal Muslim, S.Ag., Ketua PW GNPK RI Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).