Sebuah Lingkaran Virus Bernama Korupsi (Refleksi Hari Anti Korupsi 9 Desember)

Korupsi merupakan virus mematikan, pelanggaran HAM terbesar. Musnahkan penyakit yang menjadi kehancuran rakyat.

Oleh : Olan Irwandi

PRESIDEN Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2018. Kini, pelapor kasus korupsi dan suap mendapat hadiah hingga Rp 200 juta.

PP itu mengatur tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan maupun pemberantasan tindak pidana korupsi. PP itu diteken Presiden Joko Widodo pada 18 September 2018. Masyarakat mempunyai peluang besar dalam menyampaikan informasi tindakan KKN demi keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan para jaksa dan hakim, kepolisian maupun instansi pemerintah, menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang Undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Tapi, semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para hakim, jaksa, polisi, mantan polisi, bupati, mantan bupati dan sampai merambah ke kuwu-kuwu maupun mantan kuwu, itu yang lebih lucu lagi.

Tingkat pimpinan yang lebih dekat dengan masyarakatnya (di dalam suatu desa) seharusnya menjadi tempat yang strategis untuk mengembangkan dan membangun potensi-potensi dari desanya malah dikotori oleh oknum- oknum yang tidak mempunyai perikemanusiaan. Mereka malah memberikan contoh untuk berbuat korupsi. Mestinya menjadi cermin bagi para masyarakatnya, sungguh aneh kalau seperti ini. Hal itu menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata mereka yang harus duduk di kursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi.

Kasus korupsi Kuwu di Kabupaten Cirebon, yang begitu bobrok hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi. Yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang, impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salah satu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek KKN.

Praktek KKN ini merupakan salah satu penyakit akut yang terjadi di masa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja, seperti anggota keluarga dan teman dekat. Seolah-olah bermunculan raja-raja kecil yang merasa hebat dan menganggap dunia milik dia sendiri, kemudian bisa menguasai segalanya. Padahal, itu semua dapat menghancurkan penderitaan rakyat. Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Harapan terhadap produk-produk hukum di atas adalah praktek korupsi sebelum reformasi dapat dibawa ke meja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara. Sedangkan, pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Apa yang terjadi di lapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi di masa orde baru ada yang sampai ke meja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang hanya sampai pada penyidik dan berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan di lemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian, timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi?

Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput, walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Bahkan, yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah berantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.

Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk ke dalam struktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya?

Apakah ada error criminalitation? Padahal, proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Di mana, sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.

Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Sangat disayangkan, hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi, jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus mata rantainya.

Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti seperti halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari mewah. Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Artinya, pokok permasalahan dari korupsi adalah bagaimana pola pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi ? Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan menumpuk kekayaan atau secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan disalurkan bagi yang membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UNINDRA Jakarta dan Anggota GNP Tipikor Kabupaten/Kota Cirebon, (Opini-Red.)

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *